PERILAKU NON-VERBAL, POSISI KONSELING DAN TEKNIK MENGAKHIRI KONSELING
Dosen Pembimbing : Verawati Pulungan SST
A
Disusun Oleh Kelompok 4:
1. Ayu
Rachmani
2. Fatimah
3. Kasiroh
4. Linda
Novita Sari
5. Ludfatullatifah
6. Marisa
7. Novitasari
Anggraini
8. Vebryanti
Putri
9. Vivin
Vina Vizumi
10. Wahyu
Utari
JALUR UMUM SEMESTER II A
POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENTRIAN JAMBI
JURUSAN KEBIDANAN
TAHUN AJARAN 2012/2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah
yang telah memberikan rahmat, karunia
serta kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul “ Peilaku Non-Verbal, Posisi
Konseling, dan Teknik Menutup Konseling ” dalam waktu yang telah ditentukan.
Penyusunan makalah ini bertujuan
sebagai salah satu tugas dalam mata kuliah Komunikasi dan Konseling dalam Pelayanan Kebidanan. Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penyusun
mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun dari pembaca demi tercapainya kesempurnaan
makalah ini.
Saya berharap semoga karya tulis ini
dapat bermanfaat bagi berbagai pihak dan perkembangan dunia kesehatan.
Jambi, 9 Mei 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang .................................................................................. ....... 1
1.2
Rumusan
Masalah ..................................................................................... 1
1.3
Tujuan
Penulisan ....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perilaku Non-Verbal .......................................................................... ....... 2
2.1.1
Pengertian Perilaku
Non-verbal ................................................... 2
2.1.2
Klasifikasi Perilaku Non-verbal ................................................... 3
2.1.3
Tujuan Perilaku Non-verbal ......................................................... 3
2.1.4
Perilaku Non-verbal dalam Konseling ......................................... 4
2.1.5
Perilaku Verbal dan Non-verbal Konselor ................................... 5
2.2 Posisi Konseling ................................................................................. ....... 6
2.3 Teknik Mengakhiri Konseling (Termination)
............................................. 8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 11
3.2 Saran.....................................................................................................
12
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam proses konseling, yang tidak boleh ditinggalkan dan
diabaikan (harus dilakukan) oleh seorang konselor adalah menjalin hubungan
dengan klien, pengembangan instrument/penggunaan tehnik-tehnik konseling dan
mengakhiri konseling (terminasi). Dikatakan bahwa, "Membina hubungan dalam
proses konseling sangatlah penting sebagai langkah awal".
Namun dalam kenyataannya, proses konseling tidak semulus yang
diharapkan sesuai dengan keinginan konselor dan klien. Dalam contoh kasus
proses konseling yang kurang berhasil, perlu diadakan rencana tindak lanjut
untuk mencapai harapan tersebut.
Dalam makalah ini kami akan sajikan pembahasan tentang
perilaku non-verbal, posisi konseling dan cara mengakhiri konseling.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, adapun rumusan masalah yang dapat terbentuk yaitu:
1.
Apa
saja konsep dasar dalam perilaku non-verbal?
2.
Apa
saja konsep dasar dari posisi konseling?
3.
Bagaimana
cara mengakhiri konseling?
3.1 Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan
masalah diatas, adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
konsep dasar dalam perilaku non-verbal, konsep dasar posisi konseling dan cara
untuk mengekhiri konseling.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perilaku
Non-Verbal
2.1.1
Pengertian
Perilaku Non-verbal
Perilaku non-verbal adalah perilaku yang dalam
berkomunikasi menggunakan pesan-pesan non-verbal. Istilah nonverbal biasanya
digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap
dan tertulis. Secara teoritis perilaku non-verbal dan perilaku verbal dapat
dipisahkan. Namun dalam kenyataannya, kedua jenis perilaku ini saling jalin-menjalin,
saling melengkapi dalam berperilaku dan berkomunikasi yang kita lakukan sehari-hari
(Jalaludin Rakhmat, 1994).
Di dalam relasi konselor-klien terjadi
perilaku verbal ( bahasa lisan ) yang di dalamnya terlihat pula perilaku non-verbal,
seperti gerak, isyarat, gerak tubuh, air mata, getaran suara, cara duduk, dan
sebagainya. Bahasa lisan (verbal) mungkin saja bertentangan dengan perilaku non-verbal,
dan mungkin pula perilaku non-verbal tersebut mendukung/menekankan bahasa
lisan.
Perilaku non-verbal tidak muncul secara acak,
akan tetapi berada dalam setiap elemen helping
relationship. Artinya, klien terus saja menghadirkan perilaku tersebut
bersamaan dengan lisannya. Sebab setiap saat klien mungkin saja secara tak
disadari menekankan atau menentang bahasa lisannya dengan perilaku non-verbal.
Suatu ilmu yang mempelajari bahasa tubuh (body language) diberi nama kinesics, yaitu ilmu yang didasari
atas pola-pola perilaku yang berhubungan dengan gerak tubuh termasuk gerak
jari-jari, tangan, bibir, dan mata. Suatu studi (Julius Fast, 1973) menunjukkan
bahwa bahasa tubuh dapat bertentangan dengan bahasa verbal. Suatu contoh yang
klasik adalah seorang gadis yang mengatakan kepada konselor bahwa dia sangat
membenci pacarnya, sementara pada air matanya ia memungkiri.
2.1.2
Klasifikasi Perilaku Non-verbal
Berdasarkan penelitian, perilaku non-verbal
dapat dikelompokkan menjadi:
1.
Body
motion atau kinesics
behavior. Termasuk di dalamnya gestures
(gerak isyarat), gerakan tubuh, pernyataan air muka, perilaku/gerakan mata.
2.
Physical
characteristic (karakteristik fisik) yang termasuk tanda-tanda
fisik yang tak bergerak seperti, bau badan/mulut, berat, tinggi, dan
sebagainya.
3.
Touching
behavior, yaitu perilaku-perilaku dalam kontak dengan
orang lain seperti usapan, salaman, ucapan selamat tinggal, memukul, dan
memegang.
4.
Paralanguage,
yaitu hal-hal yang berhubungan dengan
lisan/bahasa/suara, termasuk kualitas bahasa seperti tekanan suara,
rirme/irama, tempo, artikulasi, resonansi, dan karakteristik vokal.
5.
Proxemics,
penggunaan jarak atau kedekatan.
6.
Artifac,
penggunaan lipstik, parfurm, kacamata, wig, dan sebagainya.
7.
Environmental
factor, penggunaan perobatan, dekorasi interior,
lampu-lampu, harum-haruman, warna, temperatur, musik, suara, dan sebagainya.
2.1.3
Tujuan Perilaku Non-verbal
Mengenai tujuan-tujuan perilaku non-verbal
telah dikelompokkan oleh Paul Ekman dan W.V. Friesen dalam bukunya The Repertoire of Noverbal Behavior (1969)
yaitu:
1.
Sebagai emblems ( lambang )
2.
Sebagai ilustrator ( juru
lukis )
3.
Sebagai effect display ( pertanyaan-pertanyaan
perasaan ) seperti ekspresi air muka yang diulangi, memperbesar, pertentangan,
atau berhubungan dengan keadaan peraaan dalam verbal ( marah, takut, senang ).
4.
Sebagai regulations ( pengaturan-pengaturan )
terhadap perbuatan seperti goyangan kepala, kerlingan mata, yang memelihara
atau mengatur pembeciraan dan mendengarkan.
5.
Sebagai adapters yaitu penyesuaian gerak tubuh
dan penyesuaian emosi.
2.1.4
Perilaku Non-verbal dalam
Konseling
1.
Metode penggunaan fotografi
Tujuan metode ini adalah untuk menentukan
apakah emosi dapat diteliti dengan cermat. Kelemahan metode penggunaan
fotografi adalah karena ketiadaan gerakan dan kurangnya informasi tentang
urutan kegiatan perilaku dalam fotografi itu.
2.
Metode film dan video
Ruang konseling dilengkapi dengan kamera TV pengintai
(surveillance camera) untuk
dipancarkan ke layar TV di ruangan observasi dimana berkumpul beberapa konselor
untuk mengamati emosi, stres, perilaku non-verbal, dan bahasa lisan dari klien
itu.
3.
Gerakan isyarat
Gerakan isyarat juga telah diteliti dalam
beberapa setting drama, pidato, dan
kegiatan belajar mengajar. Dalam gerakan isyarat ini kita dapat mengetahui
bagaimana tingkat emosional klien, seperti dari isyarat wajah yang tampak
marah, senang, seih dan sebagainya.
4.
Setting wawancara
Di dalam setting wawancara, khususnya
wawancara konseling, konselor dapat mengamati bahasa non-verbal klien misalnya
klien stres, klien dengan isyarat tertentu, pengawakan tubuh waktu duduk, serta
gerakan tubuh yang mengandung makna-makna tertentu.
5.
Pengamatan keadaan jiawa
seseorang berdasarkan ekspresi-ekspresi tertentu
Masyarakat Indonesia dengan budayanya yang
pluralistik juga mempunyai isyarat-isyarat bahasa non-verbal dimana secara umum
dapat dimaknai oleh orang Indonesia. Berikut ini beberapa bahasa isyarat dalam
perilaku non-verbal pada budaya Indonesia yaitu:
a.
Membelalakkan mata, seperti
marah, terkejut, menentang, heran.
b.
Muka merah, seperti malu,
menahan marah.
c.
Dahi dikerutkan, mata agak
terpejam, menghadapi kesukaran.
d.
Menggosok-gosok mata,
menghadapi kesukaran, berpikir.
e.
Menggaruk-garuk kepala,
menahan malu, kesal.
f.
Memegang kepala dengan dua
tangan sambil tertuntuk, seperti kecewa, konflik, stres, keadaan pelik menekan.
g.
Telinga merah, seperti
menahan malu, marah.
h.
Menggoyang-goyangkan kaki
saat duduk, seperti menahan stres.
2.1.5
Perilaku Verbal dan Non-verbal
Konselor
Saat seorang konselor menghadapi klien,
konselor akan mengkomunikasikan perilaku verbal dan non-verbal. Dengan demikian
semestinya konselor akan perilaku dalam tugas mencapai tujuan konseling. Namun
tidak semua perilaku verbal dan non-verbal konselor dapat membantu klien
sehingga membuat konselor efektif.
Sering terjadi perilaku konselor kurang
bermakna, suka mengkritik dengan tajam, kurang bersahabat, dan sebagainya.
Lisan konselor yang demikian itu akan membuat klien menjadi enggan berbicara
dengannya. Di samping itu ada pula perilaku non-verbal konselor yang membuat
klien kesal, dan sebagainya. Hal sepeti itu terjadi karena konselor kurang
sensitif dan kurang terlatih dengan perilaku verbal dan non-verbal.
2.2 Posisi
Konseling
Bimbingan dan konseling adalah upaya
pemberian bantuan kepada klien dengan menciptakan lingkungan perkembangan yang
kondusif, dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, agar klien dapat
memahami dirinya sehingga klien sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak
secara wajar, sesuai dengan tuntutan tugas-tugas perkembangan.
Proses konseling pada dasarnya adalah usaha mendayagunakan
secara penuh fungsi-fungsi yang minimal potensial pada diri klien, dan diharapkan
klien akan dapat hidup dengan wajar mencapai tujuan hidup yang positif secara
efektif.
Tujuan konseling
adalah membantu klien agar menjadi lebih fungsional, mencapai integritas diri,
identitas diri, dan aktualisasi diri, selain itu konseling diberikan agar potensi
klien yang melakukan konseling dapat berkembang secara optimal, mampu
memecahkan masalah, dan mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Untuk
mencapai tujuan konseling dengan efektif, konselor harus mampu:
1.
Menangkap
pesan utama klien.
2.
Mengutamakan
tujuan klien, tujuan konseling diharapkan mencapai:
a.
Effectif
daily living, artinya setelah selesai proses konseling klien dapat menjalani
kehidupan sehari-harinya secara efektif dan berdayaguna untuk diri, keluarga,
masyarakat, bangsa dan Tuhannya.
b.
Relationship with
Other, artinya klien mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain
dalam keluarga, sekolah, masyarakat dan sebagainya.
Bimbingan dan konseling merupakan
bagian integral dari sistem pendidikan seperti tergambarkan pada gambar 2. 1
sebagai berikut.
Layanan
bimbingan dan konseling merupakan layanan terhadap klien yang membutuhkan
konseling dan tidak terpisahkan dari layanan manajemen dan supervisi maupun
kurikulum dan pembelajaran serta bukan merupakan bagian dari bidang yang lain.
Bimbingan dan konseling juga tidak direduksi sebagai pengembangan diri atau
bagian dari pengembangan diri.
Pengembangan
diri bertujuan memberikan kesempatan kepada klien untuk mengembangkan dan
mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap orang sesuai
dengan kondisinya saat ini. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui
kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan
kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir klien.
Posisi
pengembangkan diri dan bimbingan berdasarkan perspektif bimbingan dan konseling
adalah pengembangan diri secara utuh yang merupakan layanan dasar bimbingan (guidance
curriculum). Selain itu dalam bimbingan dan konseling, masih terdapat
tiga layanan lainnya, yaitu: layanan responsif, layanan perencanaan
individual, dan layanan dukungan sistem. Jadi pengembangan diri hanya bagian
dari layanan bimbingan dan konseling. Implementasinya layanan bimbingan dan
konseling tidak hanya diberikan untuk klien yang bermasalah saja tetapi untuk
seluruh klien karena bertumpu pada kebutuhan dan tuntutan lingkungan individu.
Layanan
bimbingan dan konseling adalah layanan psikologis dalam suasana pedagogis.
Layanan psiko-pedagogis meliputu koteks kultur, nilai dan religi yang diyakini
klien dan konselor. Orientasi bimbingan dan konseling adalah perkembangan
perilaku yang seharusnya dikuasai oleh individu untuk jangka panjang tertentu
menyangkut ragam proses pendidikan, karir, pribadi, sosial, keluarga dan
pengambilan keputusan.
2.3 Teknik
Mengakhiri Konseling (Termination)
Dalam
menjelaskan konseling seseorang tidak akan lepas dari teknik apa yang digunakan
dalam konseling tersebut. Sebelum mengetahui teknik yang digunakan, ada baiknya
kita mengetahui yang dimaksud teknik konseling adalah cara-cara tertentu yang
digunakan oleh seorang konselor dalam proses konseling untuk membantu klien
agar berkembang potensinya serta mampu mengatasi masalah yang dihadapi dengan
mempertimbangkan kondisi-kondisi di lingkungannya yakni nilai- nilai sosial,
budaya, dan agama.
Bagi
seorang konselor dalam proses konseling, penguasaan terhadap teknik konseling
merupakan kunci keberhasilan untuk mencapai tujuan konseling. Seorang konselor
yang efektif harus mampu merespons klien secara baik dan benar sesuai keadaan
klien saat itu. Respon yang baik berupa pertanyaan-pertanyaan verbal dan non-verbal
yang dapat menyentuh, merangsang, dan mendorong sehingga klien terbuka untuk
menyatakan secara bebas perasaan, pikiran, dan pengalamannya (Sopyan, S. Wilis,
2004: 157).
Termination merupakan teknik yang
dipergunakan konselor untuk mengakhiri wawancara konseling, baik mengakhiri
untuk dilanjutkan pada pertemuan berikutnya maupun mcngakhiri karena wawancara
konseling betul-betul telah berakhir. Brammer (1987) mengemukakan cara-cara
mengakhiri konseling, antara lain:
a. Merujuk pada keterbatasan waktu yang
telah disepakati bersama.
b. Meringkas atau merangkum
Teknik meringkas isi konseling ini
dapat digunakan jika konselor menginginkan ringkasan faktor-faktor penting yang
telah dibicarakan selama proses konseling. Ringkasan tersehut hendaknva
menggantarkan isi pokok dari wawancara konseling.
c. Merujuk pada waktu yang akan datang.
Merujuk
pada waktu yang akan datang dilakukan jika waktu konseling tidak cukup, bisa
juga jika konselor ingin memelihara hubungan baik dengan klien, hal ini bisa
ditunjukkan dengan menggunakan pernyataan yang merujuk pada pertemuan
berikutnya, misalnya “ Waktu kita
hampir habis, kapan kamu ingin kembali lagi ?”.
d. Berdiri
Berdiri merupakan persyaratan teknik persuasif untuk mengakhiri
konseling, maka konselor dapat berdiri yang mengisyaratkan hahwa konseling
telah berakhir, dan hal ini dapat dilakukan secara lemah lembut sebelum klien
mempunyai kesempatan untuk pindah kepada topik lain.
e. Gerak isyarat halus
Gerak isyarat halus ini bisa di
lakukan dengan melihat jam tangan atau jam dinding.
Adapun cara lain untuk mengakhiri sesi konseling, dapat dilakukan
konselor yaitu:
a. Mengatakan bahwa waktu sudah habis,
b. Merangkum isi pembicaraan
c. Menunjukkan kepada pertemuan yang
akan datang (menetapkan jadwal pertemuan sesi berikutnya)
d. Mengajak klien berdiri dengan
isyarat gerak tangan
e. Menunjukkan catatan-catatan singkat
hasil pembicaraan konseling
f. Memberikan tugas-tugas tertentu
kepada klien yang relevan dengan pokok pembicaraan apabila diperlukan.
Jika seorang konselor ingin menutup sesi konseling sebaiknya
membuat rencana bersama klien untuk mesimpulkan secara umum hasil proses
konseling sejak awal. Klien juga diberi kesempatan untuk memberikan penilaian
terhadap jalannya konseling dan terhadap prilaku konselor selama membantu
klien. Hal ini sangat berguna sebagai masukan terhadap konselor untuk
memperbaiki proses konseling dan pribadinya sendiri.
Suatu rencana yang baik adalah hasil
kerjasama konselor dengan klien. Rencana atau program pada akhir sesi konseling
amat penting yaitu:
a. Menandakan adanya perubahan perilaku
atau kemajuan pada diri klien.
b. Sebagai pedoman untuk kemajuan sesi
konseling berikutnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bedasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa, perilaku non-verbal adalah perilaku yang dalam
berkomunikasi menggunakan pesan-pesan non-verbal. Istilah nonverbal biasanya
digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap
dan tertulis. Secara teoritis perilaku non-verbal dan perilaku verbal dapat
dipisahkan. Namun dalam kenyataannya, kedua jenis perilaku ini saling jalin-menjalin,
saling melengkapi dalam berperilaku dan berkomunikasi yang kita lakukan
sehari-hari (Jalaludin Rakhmat, 1994).
Perilaku non-verbal tidak muncul secara acak, akan tetapi
berada dalam setiap elemen helping
relationship. Artinya, klien terus saja menghadirkan perilaku tersebut
bersamaan dengan lisannya. Sebab setiap saat klien mungkin saja secara tak
disadari menekankan atau menentang bahasa lisannya dengan perilaku non-verbal.
Selain komunikasi
non-verbal, dalam melakukan konseling kita harus mengetahui bagaimana cara
seorang konselor untuk mengakhiri sebuah konseling. Bagi seorang konselor dalam proses
konseling, penguasaan terhadap teknik konseling merupakan kunci keberhasilan
untuk mencapai tujuan konseling. Seorang konselor yang efektif harus mampu
merespons klien secara baik dan benar sesuai keadaan klien saat itu. Respon
yang baik berupa pertanyaan-pertanyaan verbal dan non-verbal yang dapat
menyentuh, merangsang, dan mendorong sehingga klien terbuka untuk menyatakan
secara bebas perasaan, pikiran, dan pengalamannya (Sopyan, S. Wilis, 2004:
157).
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan
diatas, adapun saran yang dapat saya berikan yaitu sebaikya kita harus mengerti
dan belajar bagaimana perilaku dan komunikasi verbal maupun non-verbal itu agar
dalam suatu komunikasi berjalan dengan baik. Karena dalam komunikasi non-verbal
itu banyak sekali isyarat-isyarat yang digunakan. Dengan menggunakan isyarat,
kita lebih mengetahui apa yang diinginkan dan apa yang tidak diinginkan
seseorang terhadap suatu hal.
Begitu juga penggunaan
teknik dalam mengakhiri konseling. Setelah kita ketahui bagaimana teknik
mengakhiri konseling yang baik, diharapkan, konselor dapat mengerti dan
memahami bagaimana teknik untuk mengakhiri konseling yang baik agar tidak
terjadi kesalah pahaman antara konselor dengan klien yang datang untuk
melakukan konseling. Dengan penggunaan teknik yang baik diharapkan klien bias
nyaman dan percaya kepada konselor tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bimo, Walgito. Bimbingan Dan
Konseling Di Perguruan Tinggi. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM
Yokyakarta. 1982. hal: 96
Jalaludin,
Rakhamat. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
M. Taufik dan Juliane. 2010. Komunikasi Terapeutik dan Konseling Dalam
Praktik Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Sofyan S. Willis. 2004. Konseling
Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking